Nasional, Jakarta - Di antara 115 surat-surat Dian Sastro: Kartini Itu Buandel

Laki-laki Cina itu sudah dikenal oleh tiga anak Sosroningrat. Dia menawarkan bantuan dengan meminta Kartini meminum air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, kecamatan di Jepara, Jawa Tengah, tempat terdapat banyak rumah ibadah umat Konghucu. Ajaib. Demam Raden Ajeng turun dan ia sembuh.

Cerita itu kemudian ia tulis dalam surat untuk Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Dalam surat bertarikh 27 Oktober 1902, Kartini berapi-api menceritakan pengalaman itu. "Apa yang tak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar ternyata berhasil dengan obat tukang jamu," katanya.

Simak Film Kartini: Seorang Kartini yang Lincah, Terbuka dan Cerdas  

Cerita itu ada dalam surat Kartini kepada Abendanon. Oleh Abendanon, surat-surat itu kemudian dikumpulkan. Surat itu diterbitkan dalam judul Door Duisternis Tot Licht pada 1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal. Secara harfiah, kalimat Belanda itu berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Penerbit Balai Pustaka pada 1922 menerjemahkannya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Ada beberapa surat Kartini yang berkisah tentang Buddha. Kartini bahkan tak segan menyebut diri "anak Buddha" karena sudah meminum air shio saat sakit itu. "Ketahuilah, Nyonya," tulisnya kepada Abendanon, "bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah menjadi alasan mengapa saya tak makan daging." Seperti nada dalam seluruh surat, kalimat Kartini terasa tulus, tanpa pretensi dan motif ketika bercerita tentang apa saja.

TIM TEMPO